Minggu, 09 Desember 2007

Sejarah Hukum Perbankan Syari'ah di Indonesia

Pend

ahuluan

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.

Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).

Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.

Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.

Perkembangan Perbankan Islam

Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.

Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .

Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.

Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .

Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .

Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .

Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).

Perbankan Islam di Indonesia

Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.

Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.

Hukum Perbankan Islam

Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an। Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan:

“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah।"

Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.

Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.

Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :

  1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
  2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.

Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :

“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”

Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :

  1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
  2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
  3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :

  1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
  2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
  3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.

Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.

Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:

No. NOMOR FATWA TENTANG
1 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro
2 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan
3 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito
4 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah
5 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam
6 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istishna
7 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
8 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah
9 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah
10 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah
11 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah
12 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah
13 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka dalam Murabahah
14 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
15 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
16 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah
17 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
18 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
19 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh
20 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah
21 21/DSN-MUI/X/2001 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
22 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishna Paralel
23 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
24 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box
25 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn
26 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas
27 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik
28 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
29 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
30 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah
31 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Utang
32 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah
33 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah Mudharabah
34 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syari’ah
35 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syari’ah
36 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
37 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
38 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)
39 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji
40 40/DSN-MUI/X/2003 Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal
41 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah
42 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card
43 43/DSN-MUI/VIII/2004 Ganti Rugi (Ta’widh)

Penutup

Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

End Note

*) Peri Umar Farouk, sedang menyelesaikan S2 Magister Hukum di Fak. Hukum UGM. Bekerja sebagai konsultan acess to justice di sebuah lembaga internasional. Pernah bekerja sebagai internal corporate lawyer di WIKA & BNI (ahli hukum di tim pembentukan cabang-cabang syariah pertama dan trainer bidang hukum ekonomi bisnis). Dosen Hukum Perbankan Syariah & Takaful di UMY. Sedang mengembangkan inlawnesia.net -perhimpunan pembelajar hukum Indonesia, bergerak di bidang riset, training, organizing & publishing.
Contact: www.inlawnesia.net | email: puf@inlawnesia.net

  1. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4.
  2. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 126.
  3. Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, 1997, hal. 196.
  4. Ibid., hal. 5.
  5. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 58.
  6. Ibid., hal. 58 – 59.
  7. Ibid., hal. 59.
  8. Ibid., hal. 64 – 65.
  9. M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 614.
  10. Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI, Jakarta, 1995, hal. 60.
  11. Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 68 – 69.
  12. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
  13. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
  14. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
  15. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia.

MASALAH FUNGSI UANG DAN SISTEM PERBANKAN ISLAM

Pendahuluan

Islam sebagai agama yang rahmat lil ‘a>lami>n tidak hanya memberikan perhatian kepada masalah ‘ubu>di>yah, tetapi juga memberikan perhatian yang tinggi terhadap masalah mu‘a>malah. Banyaknya ayat al-Qur’an (lihat : Q.S. 3:174, 24:22, 62:10, 73:20) yang menjelaskan, bahkan memberikan nilai yang sangat tinggi dan positif secara hukum terhadap bidang tersebut, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi. Hal ini dikarenakan hasil aktifitas ekonomi dipandang, dalam ajaran Islam, mempunyai kaitan erat dengan rahmat Allah Swt. yang dilimpahkan kepada umat manusia.

Secara shar‘i@, seluruh aktifitas yang berkaitan ekonomi, menurut mayoritas ahli fiqh Muslim, di antaranya Ibn Taimi>yah, dibolehkan kecuali yang secara eksplisit dilarang oleh shari>‘at. 1

Sesuai dengan perkembangan zaman, kegiatan ekonomi dari masa ke masa juga mengalami banyak perubahan. Yang dulunya tidak ada, sekarang ada atau sebaliknya. Pada mulanya, barter merupakan sistem perdagangan yang diberlakukan sebelum diciptakan uang sebagai alat tukar. Perekonomian sistem barter adalah suatu kancah perekonomian yang dalam sistem transaksinya barang dipertukarkan dengan barang. Karena uang belum ditemukan, maka transaksi perdagangan dilakukan dengan saling mempertukarkan barang. Setiap barang pada dasarnya berfungsi sebagai "uang". Ketika pelaku ekonomi telah menemukan uang sebagai alat transaksi, maka uang telah disepakati sebagai alat tukar dalam dunia perekonomian. Menurut Dumairy, uang sebagai alat tukar itu harus memenuhi tiga syarat: pertama, bisa diterima secara umum; kedua, berfungsi sebagai alat pembayaran; dan ketiga, sah, dalam arti diakui oleh pemerintah. 2

Dalam perekonomian modern, peranan uang bertambah selaras dengan bertambah fungsinya. Uang kini tidak lagi sekedar berfungsi sebagai alat pertukaran, tetapi berfungsi juga sebagai satuan hitung atau pengukur nilai (unui of accounts), alat penimbun kekayaan (store of value), dan satuan atau standar pembayaran tundaan (standard of deferred payments), dan bahkan pada masa sekarang uang bisa berfungsi sebagai barang komoditi.3

Berkenaan dengan konteks keuangan, agar tuntutan obyektif manusia supaya hidup lebih efisiensi tercapai dan adanya keinginan untuk lebih praktis dalam menyimpan serta meminjam uang, maka muncullah lembaga keuangan yang didasari oleh prinsip efisiensi. Lembaga keuangan, yang dalam hal ini bank, menjalankan perantara keuangan. Ia mengambil "posisi tengah" di antara orang-orang yang punya uang lebih (menyimpan, menabung, deposan) dan orang-orang yang membutuhkan atau kekurangan dana (peminjam, debitur, investor), di antara kalangan pembeli dan penjual; di antara pihak pembayar dan pihak penerima. Instrumen keuangan yang muncul adalah giro, bilyet, tabungan, deposito, kredit, cek, saham penyertaan modal, bunga uang, dan lain-lain merupakan hasil dari penemuan tuntutan efisiensi. Namun, persoalan yang muncul dalam fiqh mu‘a>malah adalah ketika masalah bunga uang dari bank dihadapkan pada arti riba yang dilarang dalam al-Qur’a>n. Di satu sisi, bunga bank terperangkap dalam kriteria riba, tetapi di sisi lain, bank mempunyai fungsi sosial yang sangat besar, bahkan dapat dikatakan tanpa bank satu negara akan hancur.

Mengingat masalah tersebut di atas masih menjadi polemik yang berkepanjangan di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, penulis mencoba untuk membahas fungsi uang dan fungsi bank serta fungsi bunga uang dari bank tersebut dalam perspektif ajaran Islam. Tulisan ini, setidaknya, memberikan gambaran yang komprehensif tentang masalah fungsi uang dan perbankan berkaitan dengan ajaran (hukum) Islam.

Fungsi Uang

Para ahli ekonomi modern setuju bahwa penciptaan mata uang merupakan peristiwa sangat signifikan dalam sejarah ekonomi umat manusia. Hal ini berpijak pada landasan kepentingan pengembangan ekonomi, di antaranya memfasilitasi pendirian industri, pemasaran barang, jasa dan sebagainya. 4

Uang memiliki berbagai fungsi yang berbeda, seperti sebagai alat tukar nilai, media pertukaran, nilai simpanan dan standar pembayaran yang tertunda. Dalam pandangan para ahli ekonomi, fungsi uang sebagai alat pertukaran merupakan yang paling penting. Geoffrey Crowther berpendapat, "Uang harus difungsikan sebagai alat pengukur nilai, medium pertukaran dan simpanan alat pengukur nilai, medium pertukaran dan simpanan kekayaan." Salah satu dari tiga fungsi tersebut, fungsi yang kedua paling penting. 5 Day dalam bukunya The Economics of Money selain menekankan fungsi yang sama dengan Crowther, ia menambahkan bahwa salah satu fungsi uang adalah unuk menetapkan sejumlah besar transaksi antara individu-individu dan organisasi yang berbeda dalam perekonomian modern. 6

A. Mannan, salah seorang pakar ekonom Muslim, mengatakan bahwa Islam mengakui fungsi uang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi, demikian juga pendapat Ibn Taimi>yah. Diterimanya fungsi ini dengan maksud melenyapkan adanya ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar menukar (barter) karena ketidakjujuran ini digolongkan sebagai riba al-fazal yang dilarang agama. Karena itu, dalam Islam, ditandaskan Mannan, uang itu sendiri tidak menghasilkan sesuatu apapun. Dengan demikian, bunga (riba) pada uang yang dipinjamkan dan meminjam dilarang. 7

Oleh karena uang yang diakui sebagai alat tukar yang mempunyai nilai tukar, maka uang berfungsi juga sebagai pengukur nilai atau satuan hitung. Kalau fungsi uang tersebut demikian, maka teori nilai uang (value teory of money) dalam kaitannya dengan preferensi waktu (time preference) menyatakan bahwa uang sejumlah nilai yang sama berdaya beli lebih rendah di masa datang dibandingkan daya beli pada saat sekarang. Premis inilah yang menjadi dasar legitimasi praktek pembungaan uang. Premis ini telah mengajarkan manusia modern untuk menunjuk sejumlah nominal yang lebih besar di masa datang daripada menuntut jumlahnya pada saat sekarang, agar uang tersebut memiliki daya beli setara. 8

Dengan memperhatikan premis di atas dan dengan melihat pendapat Ibn Taimi>yah bahwa uang itu berfungsi sebagai alat tukar dan bahkan Mannan berpendapat bahwa fungsi uang itu hanya sebagai alat untuk melaksanakan fungsinya sebagai fungsi sosial, yaitu mempermudah pengukuran nilai barang yang ditukarkan dan fungsi religius, yaitu untuk mempermudah pengambilan zakat dan pembayarannya pada orang miskin, 9 penulis berpendapat bahwa uang tersebut berfungsi sebagai alat tukar dan sekaligus sebagai pengukur nilai. Dengan demikian, supaya fungsi yang dikehendaki oleh dua tokoh Islam tersebut beralasan, maka nilai tukar uang tersebut kapan saja dimanfaatkan, nilainya harus setara. Namun demikian, dalam hal ini penulis lebih condong adanya kemungkinan perubahan nominal di masa datang untuk menjaga nilai setara. Penulis juga berpendapat bahwa uang tidak dibolehkan sebagai komoditi, dan uang hanya sebagai alat tukar yang mempunyai nilai setara nominalnya. Hal ini untuk menjauhi kegiatan spekulasi dengan uang tersebut.

Masalah Bunga
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa manusia, dalam menjalankan perekonomian, senantiasa berupaya untuk selalu lebih efisien. Tuntutan obyektif efisiensi tadi menimbulkan keinginan untuk serba dan lebih praktis dalam menyimpan serta meminjam uang, keinginan untuk lebih memperoleh kepastian dalam mendapatkan pinjaman dan mendapatkan imbalan atas jasa menyimpan atau meminjamkan uang, serta keinginan untuk cenderung mengurangi resiko serta usaha agar ongkos informasi dan ongkos transaksi dapat ditekan.

Lembaga keuangan, khususnya bank, menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan. Ia mengambil "posisi tengah" di antara orang yang kelebihan uang (penyimpan, menabung, deposan) dan orang yang membutuhkan dana (pinjam, debitur, investor), di antara kalangan pembeli dan penjual, di antara pihak pembayar dan pihak penerima.

Sebagai sarana perantara tersebut, bank menciptakan instrumen keuangan, antara lain giro, bilyet, tabungan, deposito, kredit, cek, kartu kredit, saham penyertaan modal, bunga-bunga uang untuk menuntut nilai setara di waktu mendatang dan lain-lain. Kesemuanya itu muncul dalam rangka memenuhi tuntutan efisiensi manusia. 10 Oleh karena itu, keberadaan lembaga keuangan, dalam hal ini bank, menjadi satu kebutuhan yang mendasar dalam menjalankan perekonomian.

Namun, banyak persoalan yang muncul dalam perekonomian bangsa Indonesia sekarang ini. Adanya krisis moneter disinyalir sebagai akibat penerapan bunga bank yang menyebabkan banyaknya orang yang bangkrut akibat menanggung bunga bank yang sangat tinggi. Demikian pula mengenai keberadaan bank yang menerapkan bunga baik bagi debitur dan kreditur belum bisa diterima oleh sebagaian umat Islam. Mereka masih memandang bahwa bunga bank tersebut, apabila dihadapkan pada hukum Islam (fiqh mu‘a>malah), termasuk riba yang dilarang oleh al-Qur’a>n.

Hasil survey yang dilakukan oleh Mannan di berbagai negara baik negara Islam dan negara Barat menyimpulkan bahwa bunga yang dipraktekkan oleh bank ternyata membawa kepada keadaan perekonomian yang memprihatinkan. Mannan menghimbau supaya seluruh negara yang rakyatnya mayoritas beragama Islam supaya sepakat mendirikan bank tanpa bunga, sebagaimana yang dikehendaki oleh al-Qur'a>n. Ia mencontohkan negara Pakistan yang telah melaksanakan konsep Islam tentang lembaga perbankan dan telah berhasil dengan baik, bahkan mampu membawa rakyatnya kepada kehidupan ekonomi yang sangat baik. Sistem perbankan yang diterapkan di Pakistan, tandasnya, seharusnya dicontoh oleh negara yang rakyatnya mayoritas Muslim. 11

Bunga Uang

Klarifikasi mengenai hakikat riba sangat menentukan pandangan dan sikap umat Islam terhadap bunga bank yang selama ini dijalankan oleh lembaga keuangan atau perbankan konvensional. Apakah bunga bank pada akhirnya akan dapat diterima atau tidak diterima, begitu pula konsekwensinya apakah lembaga perbankan konvensional sekarang ini dapat diterima atau tidak, sangat tergantung pada klarifikasi mengenai hakikat riba.

Apabila kita berpendapat bahwa bunga tidak sama dengan riba, sehingga dinilai tidak haram, padahal (karena kemiskinan acuan kita terhadap riba) sesungguhnya hal ini sama saja, maka kita menanggung dosa umat karena telah menjerumuskan ke lembah keharaman. Sebaliknya, jika kita menyimpulkan bahwa bunga uang identik dengan riba sehingga dinilai haram, padahal (sekali lagi, karena kemiskinan acuan kita) sesungguhnya berbeda, maka berdosa pula karena membuat umat tertinggal dalam derap laju kehidupan. Oleh karena itu, klarifikasi mengenai hakikat riba ini sangat signifikan.

Pro dan kontra sekitar hukum bunga bank bukan saja terjadi di kalangan orang Muslim, bahkan hal ini sudah muncul pada masa filosof, seperti Plato, Charles Gide dan lain-lain. Mereka telah mengharamkannya.12 Di Indonesia, masalah bunga bank ada beberapa pendapat. NU membolehkannya karena dalam keadaan darurat. Muhammadiyah mengatakan bahwa bunga bank hukumnya shubhat. Sekelompok ahli yang lain membolehkan bagi bunga produktif, dan yang konsumtif dilarang. Namun, ada juga ‘ulama>’ yang membolehkannya, baik bunga produktif maupun konsumtif.13

Mannan, dalam bukunya Teori dan Praktek Ekonomi Islam, berpendapat bahwa bunga bank adalah termasuk riba yang dilarang oleh al-Qur’a>n, walaupun bunga tersebut untuk peminjaman produktif. Hal dikarenakan ketika diharamkannya riba oleh al-Qur’a>n, pada waktu itu sudah berjalan juga pinjam meminjam untuk tujuan produktif yang dilakukan oleh orang Yahudi. 14

Terlepas dari pendapat para pakar yang pro dan kontra terhadap hukum bank tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam pada umumnya merasa ragu dan bersikap mendua. Di satu pihak, sesuai dengan ketentuan perkembangan kebutuhan ekonomi, mereka harus berhubungan dengan bank, tetapi di pihak lain di dalam sanubari mereka masih sangat khawatir akan ribanya bunga bank yang dilarang oleh agama.

Namun, apabila disepakati bahwa bunga sama dengan riba (hipotesis ini masih perlu dibuktikan), maka upaya penyingkiran praktek pembungaan uang rasanya tidak cukup hanya dengan menjalankan model bank tanpa bunga. Dumairy berpendapat bahwa lembaga perbankan konvensional dengan segala prakteknya selama ini bukanlah penyebab utama timbulnya bunga uang. Bunga uang adalah ibarat "asap" bukan "api"nya, dan lembaga perbankan agaknya bukanlah "api" tersebut. Dengan demikian, kita sebaiknya berintrospeksi dengan lebih jernih lagi. Jangan-jangan reaksi umat Islam mendirikan bank Shari>‘ah dalam upaya menghindarkan praktek pembungaan uang, hanya sekedar tindakan menghalau asap. Api penimbul asap itu sendiri tidak dipadamkan, bahkan cenderung lebih marak menproduksi asap-asap baru dengan berbagai macamnya, karena asap pertamanya "dicekal," kalau ini betul, maka causa prima timbulnya bunga uang itulah justru yang seharusnya perlu disingkirkan. 15

Penulis sendiri cenderung berpendapat bahwa bunga uang itu tidak riba, sebab bunga uang hanya menutup nilai tukar setara di waktu mendatang, dan yang diharamkan adalah bunga uang yang menimbulkan eksploitasi dan menimbulkan aniaya pada orang lain. Hal ini didasarkan pada proses awal diharamkannya riba dan adanya premis yang telah penulis kemukakan di muka.

Praktek bank Islam di Indonesia yang didasarkan atas bagi hasil inipun perlu diteliti. Apakah hasil uang yang dibagi itu bukan berupa tuntutan nilai tukar setara di masa mendatang atau yang lain. Namun, penulis yakin bahwa praktek bagi hasil dari pembungaan uang di BMI atau lembaga perbankan Islam yang lain adalah Islami, sebab paling tidak, pembungaan uang tersebut tidak sampai menimbulkan eksploitasi dan aniaya pada orang lain.

Konsep Perbankan Islami

Dasar Pemikiran

Bunga bank, menurut Mannan adalah riba, karena dalam Islam uang itu sendiri tidak menghasilkan bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Dengan demikian, uang hanya sebagai alat transaksi, tidak lebih dari itu. Untuk itu, konsep perbankan Islami harus mengacu pada konsep Islam tentang uang tersebut. Konsep dasar bank Islam adalah bahwa kedudukan bank Islam dalam hubungannya dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang. Sedangkan dalam hal bank konvensional, hubungannya adalah sebagai kreditor atau debitor.16 Dengan demikian, bank Islam ini dapat dikatakan sebagai bank dengan ciri tanpa bunga, atau lazim disebut bank "bagi hasil".

Lembaga yang menjadi pelopornya adalah Islamic Development Bank (IDB). Gagasan didirikannya IDB dibahas pertama kali di Karachi ketika ada konferensi Menteri Luar Negeri OKI pada bulan Desember 1970.17 IDB baru resmi didirikan pada tanggal 20 Oktober 1975 dengan 22 negara Islam menyatakan diri sebagai anggota (termasuk Indonesia). Munculnya pemikiran untuk mendirikan lembaga ini didasarkan atas pemahaman bahwa bunga bank yang ditimbulkan dari transaksi simpan pinjam di bank konvensional adalah riba, sebagaimana yang dilarang dalam Islam.

Beberapa keberatan adanya pranata bunga uang dikemukakan oleh para pendukung bank Islam. Dari segi fungsi uang sebagai alat tukar, sehingga adanya sistem bunga dapat menyebabkan likuiditas uang. Jika bunga dibasmi maka premi likuiditas akan hilang dan motif untung-untungan untuk menyimpan uang akan lenyap. Di pihak lain, elastisitas substitusi uang adalah nol, sehingga suatu peningkatan dalam permintaan pasti meningkatkan nilai bunga, demikian pandangan Mahmud Ahmad. Kalau tidak dikatakan bahwa inflasi adalah konsekwensi bunga uang, tetapi bunga uang dinilai mempunyai andil dalam lajunya inflansi. 19 Padahal ciri stabilitas ekonomi adalah terkendalinya inflasi. Dengan demikian, transaksi peminjaman "bebas bunga" ikut mengendalikan laju inflasi berdasarkan teori ini.

Bank dengan sistem bunga menetapkan bunga berdasarkan suku bunga yang sedang berjalan. Agar peminjaman memperoleh keuntungan dari usahanya, ia dalam memperhitungkan ongkos produksi harus memasukkan bunga pinjaman di dalamnya, di samping ongkos lainnya. Ia akan mengalami kesulitan manakala harga harus ditekan, misalnya bila harga tidak ditekan, maka barang produksi tidak berlaku atau kalah bersaing bersamaan dengan tingginya bunga yang harus dibayar. Sebaliknya, dengan bank tanpa bunga wiraswasta dalam memperhitungkan labanya tidak "dikejar-kejar" oleh suku bunga. Dengan perkataan lain, melalui bantuan bank dengan sistem bunga, keuntungan wiraswasta ditentukan oleh besar kecilnya bunga, sedangkan melalui bank tanpa bunga, keuntunganlah yang menentukan jumlah "keuntungan" yang diterima oleh bank dari wiraswastawan, yang dalam bank konvensional disebut bunga.

Pendukung bank tanpa bunga mempunyai prinsip bahwa manusia tidak dapat memastikan terlebih dahulu keberhasilan bagi suatu yang sedang diusahakan. Hanya Allah yang mengetahui. 20

Aktivitas Bank Islam

Menurut Solihin Hasan,21 seorang pejabat pada bank Islam di Jeddah, kegiatan usaha perbankan Islam meliputi semua kegiatan perbankan konvensional, kecuali pinjaman dengan bunga. Ia menerima simpanan dan memberi pinjaman, tetapi tidak menerima dan membayar bunga.

Sebagai sumber dana, bank Islam dapat melaksanakan dua jenis usaha. Pertama, memberi modal sepenuhnya atau sebagian kepada kaum usahawan pencari modal dengan perjanjian berbagi modal keuntungan. Kedua, menawarkan jasa tertentu dengan memungut biaya administrasi dan komisi.

Jenis usaha yang pertama dapat diklasifikasi menjadi: pertama, pemberi modal penuh, dan kedua, penyertaan modal, apabila usahawan sudah mempunyai sebagian modal. Dalam hal bank berperan sebagai pemodal sepenuhnya, konsep mud}a>rabah diterapkan. Dalam praktek mud}a>rabah, pemilik harta menyerahkan harta kepada pekerja untuk diperdagangkan, labanya dibagi antara mereka sesuai dengan perjanjian. Transaksi ini sudah dikenal sebelum Islam. Contoh yang biasa diambil untuk kasus ini adalah "kerjasama" antara Nabi Muhammad dengan Khadijah dalam usaha dagang, di mana Nabi sebagai pekerja, sedangkan Khadijah sebagai pemodal, beberapa waktu sebelum perkawinan mereka.22

Istilah mud}a>rabah dikenal di kalangan Madhhab H{anafi>yah, Hanbali>yah dan Zaidi>yah. Sedangkan di kalangan Sha>fi‘i>yah dan Ma>liki>yah, transaksi ini dikenal dengan qirad. 23

Kerugian yang timbul dari usaha mud}a>rabah ditanggung oleh pemilik modal. Dengan demikian, karena bank sebagai pihak pemberi modal sepenuhnya, maka berdasarkan prinsip ini, ia akan menanggung kerugian apabila terjadi, sedang pihak pengelola dana (mud}a>rib) hanya rugi karena tidak mendapat upah. Dalam hal terjadi kerugian, menurut prakteknya, bank akan menutupi kerugian tersebut dari nasabah lain yang mendapatkan untung. 24

Disamping sebagai pemodal penuh, bank Islam juga dapat menjadi pemberi pinjaman sebagian dari modal yang diperlukan perusahaan wiraswastawan, karena sebagian modal sudah tersedia, atau bahkan perusahaan sudah berjalan tetapi masih kekurangan modal. Di sini, bank bertindak sebagai pemegang saham. Untuk ini berlaku prinsip shirkah.

Ada beberapa definisi shirkah yang dikemukakan para ‘ulama>’ dalam fiqh Mu‘a>malah25 Dari berbagai definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa shirkah adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian pihak-pihak yang berkongsi. Dengan demikian, mud}a>rabah dan musha>rakah adalah hampir sama dan bedanya kalau mud}a>rabah dipakai untuk pemodalan sepenuhnya sedang musha>rakah adalah untuk penyertaan modal. Prinsip shirkah ini adalah profit and loss sharing (untung dinikmati bersama dan rugi ditanggung bersama). Adapun yang dijadikan perjanjian adalah prosentase laba, bukan modal sebagaimana di bank konvensional.

Di samping bank Islam menyediakan jasa untuk kepentingan produksi dalam, bentuk bentuk mud}a>rabah dan musha>rakah, ia juga menyediakan jasa untuk kepentingan non produksi, seperti jasa pemilikan barang. 26 Seseorang yang ingin memiliki sebuah rumah, misalnya, tetapi belum punya dana, bank Islam menyediakan dana tersebut dengan cara melunasi pembelian rumah tersebut. Nasabah mempunyai kewajiban untuk membayarnya dengan cara mengangsur pada bank. Bank, dalam hal ini, tidak mengambil bunga dari angsuran tersebut, akan tetapi ketika proses perjanjian tersebut bank me-mark up harga rumah tersebut. Harga yang sudah di-mark up ini yang akan dilunasi oleh nasabah dengan cara mengangsur. Model atau sistem semacam ini disebut al-ba>‘i bi thaman ‘a>jil. Kalau dilunasi dengan cara tenggang waktu tertentu, cara seperti ini disebut al-Mura>bah}ah. 27

Konsep jenis-jenis produk bank Islam yang disiapkan oleh LPPBS adalah sebagai berikut :


Nama Prinsip Jenis-jenis Produk Bank Shari>‘ah
Simpanan al-Wad}i>‘ah,

Bagi Hasil al-Mud}a>rabah, al-Musha>rakah



al-Muzara’ah, al-Musaqa>t






Pengambilan Keuntungan Ba>‘i al-Mura>bah}ah, Ba>‘i Bithaman a>‘jil, Ba>‘i al-Takiri, Ba>‘i al-Sala>m
Ba>‘i al-Istithna>’

Sewa Ija>rah, Ba>‘i al-Takiri, Musha>rakah



Mutana>qis}ah
Pengambilan fee al-Kafa>lah, al-Khiwalah, al-Ji>‘a>lah



al-Waka>lah
Biaya Administrasi al-Qird} al-H{asan (Lihat LPPBS). 28

Segi keunggulan bank Islam terletak pada penghimpunan dana. Di mana bank Islam disamping menerima dana dari masyarakat lewat Giro, Tabungan, dan Deposito berjangka panjang, juga menerima dana dari masyarakat lewat dana ZIS.

Kesimpulan

Dilihat dari segi peranan dalam kegiatan ekonomi, bank Islam dan bank konvensional mempunyai kesamaan, yakni sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana. Dengan perannya sebagai penerima simpanan, ada kesan bank menjadi tempat penumpukan uang. Tetapi sebenarnya tidak demikian, sebab uang yang masuk di bank tidak akan ditahan begitu saja, tetapi dana tersebut diusahakan dapat disalurkan ke berbagai usaha perekonomian. Bahkan, bank akan gelisah bila terjadi kelesuhan dalam penyaluran dana.

Bunga yang ditimbulkan akibat penyaluran dana merupakan sumber keuntungan bank. Ia disebut keuntungan kotor, karena keuntungan tersebut akan dipakai untuk keperluan administrasi, biaya karyawan dan lain-lain. Di samping itu, adanya teori Time Value of Money menuntut adanya nilai nominal uang setara di masa akan datang. Inilah yang mengharuskan adanya uang tersebut berbunga atau berkembang secara nominal.

Kedua lembaga keuangan, baik bank konvensional maupun bank Islam, membutuhkan biaya operasional dan juga selalu memperhatikan nilai nominal uang yang setara di waktu mendatang. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar kalau dalam bank Islam ada istilah mark up, ketika melakukan perjanjian jual beli dengan sistem mura>bah}ah. Dalam hal pemberian keuntungan, istilah yang dipakai bank konvensional adalah pemberian bunga dari uang yang telah dioperasionalkan lewat berbagai cara. Sedang, dalam bank Islam pemberian keuntungan memakai istilah bagi hasil dari keuntungan uang yang juga telah dioperasionalkan.

Bank Islam dalam memberikan jasa pada nasabah memakai istilah bagi hasil. Hal ini untuk menghindari hukum dilarangnya riba. Sementara jasa dari bunga uang dalam dunia perbankan masih diperdebatkan. Para pemikir Islam dari Timur Tengah kebanyakan berpendapat bahwa bunga bank adalah riba. Hal ini bisa dimaklumi sebab di negara Timur Tengah nilai uang hampir tidak mengalami inflasi. Berbeda dengan di Indonesia, nilai nominal uang hampir setiap tahun mengalami inflasi sepuluh persen. Kondisi yang demikian ini kalau tidak memperhatikan tuntutan nilai uang setara di waktu mendatang, berarti akan merugikan bagi orang. Hal inilah yang melatarbelakangi pemikir Islam Indonesia yang membolehkan bunga bank, dengan syarat asal tidak sampai mengekploitasi pada orang lain atau tidak sampai mendatangkan aniaya.

Jelasnya pemberian uang jasa atau bunga dalam bank konvensional dan ketidakjelasan pemberian uang jasa atau laba pada bank Islam menyebabkan umat Islam tidak terdorong untuk menjadi nasabah di bank Islam. Namun demikian, bank Islam mempunyai keunggulan yang tidak dipunyai oleh bank konvensional, yaitu adanya sumber dana dari ZIS dan dana wad}i>‘ah dari umat Islam yang tidak membutuhkan keuntungan dari bank. Dana-dana dari sumber tersebut merupakan potensi bagi bank Islam untuk mengangkat harkat ekonomi lemah orang Islam di Indonesia.2

Infrastruktur Perbankan Islam Masih Lemah

Infrastruktur Perbankan Islam Masih Lemah

Keuangan Jusuf Anwar mengatakan, infrastruktur perbankan Islam yang kurang memadai adalah 3 penghambat utama perkembangan perbankan Islam di Indonesia. Problem lainnya, kurangnya pemahaman masyarakat atas konsep dan produk perbankan Islam modern, serta kurangnya SDM yang ahli di bidang perbankan Islam.

"Kekurangan infrastruktur perbankan Islam ditandai minimnya regulasi khusus perbankan Islam," kata Jusuf dalam sambutan tertulisnya pada konferensi Struktur Produk Finansial untuk Pasar Islami, yang dibacakan staf ahli Mardiasmo, kemarin.

Jusuf menambahkan, pengembangan SDM yang ahli dalam perbankan Islam harus dilakukan dengan pendekatan lebih terstruktur. "Latihan dan pendidikan formal tentang perbankan Islam perlu dikembangkan," ujarnya.

Menurutnya, saat ini BI selaku bank sentral menyiapkan rencana jangka panjang mengembangkan perbankan Islam. Sesuai rencana itu, dalam 10 tahun kedepan, antara lain pemerintah akan menyiapkan landasan agar perbankan Islam dapat tumbuh dan berkembang sebagai bank alternatif bagi masyarakat. Kedua, memperkuat peran industri perbankan Islam dalam menggerakan sektor riil. Ketiga, memperbaiki kinerja perbankan Islam demi peningkatan daya saing di kancah perekonomian global.

Terkait kinerja, Jusuf menjelaskan, total aset bank-bank Islam meningkat dari Rp 9,5 triliun pada tahun lalu menjadi Rp 15,56 triliun pada tahun ini. Selain aset, jumlah pembiayaan yang dilakukan perbankan Islam juga meningkat dari RP 6,4 trilyun menjadi Rp 12,1 triliun.
Rasio pembiayaan simpanan juga naik dari 91,36 persen menjadi 103,19 persen.

Jusuf menambahkan, jumlah bank Islam, termasuk BPR syariah, meningkat dari 96 bank di tahun lalu menjadi 107 bank. Selama krisis ekonomi pun, perbankan Islam terbukti memiliki performa lebih baik dibanding perbankan umum. Ini ditandai dengan rendahnya persentase kredit bermasalah Non Performing Loan (NPL).

Rabu, 05 Desember 2007

jangan pergi bidadari

di penghujung malam suasana pasar antri bandung makin terasa ramai..mungkin karena semakin mendekati pagi...

sebuah kesaksian

laut segi tiga bermuda seperti kelelahan menanggung beban kehidupan
kadang ia bergerak mengikuti ambisius angin yang tak terarah
lesu memang...marah ia...namun tak segan ia bertutur paada angin...wahai sahabat ku ikuti kehendakmu seumur kehidupan dunia..apakah ada sedikit keinginanmu untuk tak bertiup sejenak...mari kita sama-sama mencari titik temu agar aku tak bosan mengikuti keinginanmu...dengarlah sahabat manusia..sahabat binatang...sahabat jagad

Selasa, 04 Desember 2007

engkaulah bidadariku

bunga yang ku rajut di tengah malam.
mengembang dan merekah sempurna
seperti keringat hari yang tergilas manusia yang penuh makna.
kini menjadi masa yang indah penuh kejujuran waktu

bunga itu berputik oangeran yang perkasa..dia menjelma di antara kasih sayang yang bermeta
sungguh sebuah uopacara sakral ketika mengintip putik menjadi
sebuah maha karya yang indah
ketika bias kelahirannya ada di vigura vagina
subhanalloh buah cinta dari maha karya
sebagai anugrah untuk pengabdi setia
semoga menjadi anak soleh dan berguna

sebab cinta

Cinta adalah buah karya
sebab cinta membuat dewasa
sebab cinta membuat kerdil di atas segalanya
sebab cinta membuat digdaya
sebab cinta membuat sengsara

tentu bukan pilihan yang baik menjadi kodok dalam tempurung
tetapi itu lebih baik dari hidup tanpa cinta